Maret 26, 2025

M Ridwan Zainul Asfiya : Ketekunan Belajar Mengajar Umat Islam Terdahulu Menghasilkan Banyak Karya Besar

IMG-20250202-WA0172
Spread the love

MAHARDHIKAnews.com DEPOK, – Di masa-masa akhir kenabian, sahabat Nabi Muhammad SAW sudah berjumlah ribuan orang. Sebagian besar dari mereka tinggal di tempat yang berjauhan dari rumah beliau di Madinah. Karena pada masa itu, Islam sudah meluas sampai ke wilayah yang jauh dari Madinah.

Dengan begitu, dalam urusan ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam, ada kalanya sebagian sahabat mendapatkannya dari Nabi Muhammad SAW. secara langsung dan ada yang melalui sahabat lainnya yang pernah mendengarkannya dari Nabi secara langsung.

Pada saat itu ada sekitar 130 an orang yg alim dari kalangan lelaki maupun wanita yg mampu memberi fatwa kepada sahabat-sahabat lainnya tentang permasalahan hukum Islam.

Diantara para sahabat itu adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Usman, Ali, Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan lain- lainnya.

Dalam hadis riwayat Ahmad, Abu Ya’la dan lain-lainnya diceritakan bahwa ketika sahabat Jabir bin Abdillah r.a. mendengar ada sebuah hadis yang mengisahkan tentang kondisi manusia saat hari kiamat.

Dia pun berniat untuk mendengar hadist tersebut secara langsung dan lengkap dari sumber yang mendengarnya secara langsung dari Nabi saw, yaitu Abdullah bin Unais r.a. yg bertempat tinggal di negeri Mesir, sebagian riwayat negeri Syam (kini bernama Suriah)

Maka Jabir yang tinggal di Madinah pun membeli seekor unta yg akan ia gunakan sebagai alat transportasi ke rumah Abdullah si pendengar hadis tersebut.

Setelah melakukan perjalanan panjang karena jarak dari Madinah ke Syam dengan naik unta selama satu bulan, akhirnya Abdullah Jabir pun bisa berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya itu dari Abdullah bin Unais.

Selanjutnya pada masa perkembangan peradaban Islam sejak akhir abad pertama sampai sekitar abad ke 9 – 10 H. kaum muslimin dimasa itu tak kalah pula dengan para ulama sahabat pendahulu mereka.

Umat Islam dimasa itu amat termotivasi untuk senantiasa menuntut ilmu agama, apapun beban kesibukan ataupun kendala yg mereka alami, sehingga pada masa itu agama Islam mengalami kemajuan luar biasa dalam bidang keilmuan, baik ilmu pengetahuan umum untuk ukuran masa itu, terlebih lagi ilmu agama Islam.

Semangat mereka seakan merupakan manifestasi daripada Sabda Rasulullah SAW :

اُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إلى اللَّحْدِ

“ Carilah Ilmu dari mulai ayunan (masa kecil) sampai ke liang lahat (wafat) ”

Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari (w. 256 H) misalnya, ia mengembara memburu ilmu hadis sejak usia 16 tahun, keluar masuk berbagai negara menyusuri berpuluh-puluh kota keluar masuk perkampungan demi belajar sekaligus menghimpun hadis-hadis Nabi dengan menghafalkan para perawinya.

Dalam pengembaraannya itu, ia menemui tidak kurang dari 1000 para perawi hadis yang dalam waktu 16 tahun ia berhasil mengumpulkan sekitar 600 ribu hadis baik yang shahih maupun yang tidak sahih dan diantaranya sekitar tujuh ribu hadis yg shahih dihimpun tersendiri dalam kitabnya “Al Jami’us Shahih” atau Shahih Al Bukhari.

Kitabnya tersebut oleh para ulama sesudahnya, dinilai sebagai kitab kumpulan hadis yang paling shahih dari kitab-kitab himpunan hadis-hadis yang lainnya. Baik yang dihimpun hampir semasa dengan Jami’us Shahih maupun sesudahnya.

Pada masa perkembangan peradaban Islam itu, pemburu ilmu yang mencari dan memperdalam ilmu agama Islam bukan hanya dari mereka yang masih muda yang belum memiliki kesibukan urusan keluarga ataupun orang yang memiliki banyak waktu luang saja, tetapi para penuntut ilmu itu dan juga para pengajarnya.

Kesibukan menjalankan profesi maupun pekerjaan mata pencaharian sehari-hari bukanlah penghalang bagi mereka dalam menuntut, memperdalam maupun mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Maka proses belajar, memperdalam dan mengajarkan ilmu ilmu agama pun tidak hanya dilakukan di masjid-masjid atau Madrasah. Mereka melakukan itu juga diberbagai tempat, seperti di pasar, toko, bahkan di perkebunan.

Ulama besar seperti Waki’ bin Al Jarah Al Kufi (w. 196 H) misalnya, seorang ahli hadis Iraq yg pernah menjadi salah seorang guru imam Syafi’i itu pada siang hari rela berpanas-panas mengajarkan Hadis kepada para pekerja penyiram tanaman karena mereka tak punya waktu datang ke pengajiannya. Itu sebabnya, Waki’ mengalah mengajari ilmu dengan mendatangi mereka.

Ada pula ulama Hadis yang meriwayatkan hadisnya di pasar. Misalnya hadis tentang keutamaan Ummahatul Mukminin yg diriwayatkan di toko Ali bin Al Hasan Ar Razzaz.

Ilmu fiqih juga sering diajarkan ditempat transaksi jual beli. Hal ini misalnya dilakukan oleh seorang ahli fiqih Muhammad bin Ali (w. 555 H) yang berprofesi sebagai penjual parfum dan obat-obatan. Banyak penuntut ilmu yg datang ke tokonya untuk menimba ilmu fiqih.

Itulah sebabnya tak sedikit ulama yg dibelakang namanya ditancapkan nama-nama profesi mereka, seperti Abu Ali Al Hasan bin Al Husain An Ni’ali (Tukang sandal) Al Baghdadi (w. 431 H). Kata “An Ni’al” disertakan di belakang namanya karena berhubungan dengan profesinya sebagai pembuat maupun penjual sandal.

Di dalam bidang Teologi misalnya terdapat nama-nama besar yg menjadi panutan umat Islam sampai sekarang seperti Abul Hasan Al Asy’ari, (w. 324 H) dan Abu Manshur Al Maturidi (w. 333 H).

Dalam bidang ilmu fiqih sampai melahirkan banyak ulama Mujtahid Muthlaq atau Mujtahid secara mandiri dari kalangan Ahlus Sunnah yg masing-masing mempunyai Madzhab dengan jumlahnya sampai mencapai belasan orang Mujtahid, termasuk imam-imam madzhab empat yg terkenal itu.

Diantara mereka yg selain imam-imam Madzhab empat itu adalah imam Abdur Rahman bin Muhammad Al Auza’i (w. 157 H), pendiri Madzhab Al Auza’i, Imam Sufyan At Tsauri (w. 161 H), pendiri Madzab Ats Tsauri, imam Al Laits bin Sa’ad Al Fahmi (w. 175 H), pendiri Madzhab Al-Laits dll.

Madzhab mereka yang selain Madzhab empat itu pun masing-masing juga dinilai sebagai madzhab mu’tabar yg dulu mempunyai banyak pengikut. Namun karena murid-murid mereka itu tidak ada yang terus menekuni, memelihara dan menulis madzhab-mereka, maka madzhab mereka kini lenyap.

Seperti itulah semangat Mengajar dan Belajar para Ulama’ Salafunas Saleh. Kesibukan mencari nafkah untuk keluarga bukan menjadi alasan untuk berhenti menuntut Ilmu. Karena bagi mereka salah satu hal terpenting dalam rangka untuk memajukan peradaban Islam yaitu dengan semangat belajar dan mengajar.

Dengan perjuangan dan kerja keras. Imam Syafi’i telah mengingatkan :

مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ ساَعَةً # تَجَرَّعَ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَياَتِهِ

“Barangsiapa yang tidak pernah merasakan pahit getirnya menuntut Ilmu, walaupun itu Cuma sesaat. Maka dia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.” (*)

Penulis adalah Aktivis Da’i Muda

(Isi tulisan diluar tanggung jawab Redaksi)